Berbicara mengenai
kebudayaan, banyak hal yang terlintas dalam pikiran kita. Ada adat-istiadat,
bahasa, kesenian, budaya politik, dan lain sebagainya. Nah untuk kesenian itu
sendiri Indonesia mempunyai berbagai
macam gaya dan bentuk yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya mulai
dari Sabang sampai Merauke. Hampir setiap daerah mempunyai kesenian yang unik
dan beragam. Namun keberagaman dan perbedaan itu tidak boleh kita jadikan
sesuatu yang dapat memecah belah bangsa Indonesia, namun sebaliknya dengan
keberagaman ini kita harus dapat saling menghargai antara yang satu dengan yang
lainnya seperti semboyan bangsa kita “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya “Walaupun
berbeda-beda tetapi tetap satu juga”.
Oke, pada kali ini
saya akan sedikit berbagi mengenai salah satu kebudayaan yang ada di daerah
tempat tinggal saya (Banjarnegara), sebuah kesenian yang biasa disebut dengan
“Embeg/Ebeg”. Namun kaum muda sendiri sering menyebut kesenian ini dengan
sebutan “hokya-hokya”.
Embeg itu sendiri
sudah ada sejak dulu kala lohh, bahkan sebelum saya lahir kesenian ini sudah
lahir duluan. Walaupun embeg ini merupakan kesenian yang terbilang cukup tua,
diperkirakan sejak zaman purba tepatnya pada saat mereka masih mempercayai
aliran animisme dan dinamisme kesenian ini telah ada loh, wah wah hebat ya
kesenian ini masih sangat digemari oleh berbagai kalangan, mulai dari
anak-anak, remaja, orang dewasa, bahkan orang tua sekalipun. Disetiap ada
pertunjukan ini, tak pernah ada sepinya, masyarakat selalu antusias ikut serta
berpartisipasi.
Eh iya, mungkin
dari tadi readers udah kepo, apa sih sebenernya embeg itu? Kok bisa digemari
gitu ya? Mau tau jawabanya? Oke, akan saya jelaskan disini. Embeg merupakan
sebuah kesenian yang berupa tarian yang secara nasional sering disebut kuda
lumping atau kuda kepang. Dalam permainannya, kesenian ini terbilang cukup unik
dengan menggunakan property berupa anyaman bambu yang dibentuk menyerupai
seekor kuda, di cat semenarik mungkin dan diberi aksesoris seperti ekor,
rambut, dan tali untuk mempermudah pemain dalam melakukan aksinya. Embeg ini
menggambarkan pasukan prajurit perang yang sedang perang dengan menunggang
kuda.
Kesenian ini
biasanya di mainkan oleh sepuluh orang penari dan dua orang ketua dengan
penataan lima di depan dan lima di belakang dengan dipimpin oleh masing-masing
ketuanya. Untuk menambah kemeriahan dan rasa kesenian jawa yang tinggi maka
biasanya tarian kuda lumping/kuda kepang diiringi oleh beberapa sinden dengan
musik pengiringnya seperangkat gamelan jawa atau lebih tepatnya gamelan banyumasan
untuk menambah meriah kesenian ini. Lagu-lagu yang dinyanyikan pun hampir
keseluruhan menggunakan lagu ber lirik jawa banyumasan atau yang biasa disebut
dengan ngapak dengan logat khasnya.
Lagu yang biasa dimainkan contohnya sekar gadung, eling-eling, dawet ayu
banjarnegara, dan lain-lain. Tak jarang pula menggunakan lagu campursari atau
pun lagu dangdut yang disetting seperti lagu jawa.
Selain menari
seperti prajurit yang sangat gagah, kesenian ini juga menampilkan beberapa
atraksi seperti kesurupan atau yang biasa disebut dengan “mendem”, atraksi
kekebalan seperti memainkan pisau yang besar atau biasa disebut dengan gaman
digosokan ke tangan, leher, atau bagian tubuh yang lain dan menggunakan pecut.
Serta atraksi kekuatan yang dilakukan seperti mengupas serabut kelapa dengan
menggunakan mulut. Selain itu atraksi-atraksi yang biasa mereka lakukan adalah
makan bunga, makan rumput, makan beling atau pecahan kaca, makan ikan yang
masih mentah, makan telur jawa (telur ayam kampung) yang masih mentah, berlagak
seperti ular, macan, seorang perempuan, dan lain sebagainya.
Pada kesenian ini
yang bisa mendem tidak hanya para penari nya saja,namun para penonton yang
mempunyai indang juga bisa ikut mendem. Bahkan sebaliknya bagi penari yang
tidak mempunyai indang pun tak bisa mendem. Indang adalah seperti roh leluhur
yang biasa merasuk pada saat embeg di lakukan. Indang lah yang mempengaruhi atau
merasuki gaya para pe-mendem didalam
kesenian embeg. Untuk dapat mendapatkan indang itu seseorang harus mengikuti
serangkaian ritual-ritual khusus. Indang yang di miliki setiap orang itu
berbeda-beda, ada yang mempunyai indang kethek (monyet), indang macan, indang
mayid, dan indang-indang yang lain.
Sebelum terjadi
adegan mendem, terlebih dahulu mereka mengalami babak janturan, inilah yang
biasanya menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat setempat, setelah itu
mulailah mereka dengan atraksi-atraksi yang unik. Tak boleh terlupakan hal yang
wajib dalam pertunjukkan embeg adalah ketersediaan sesajen lengkap dengan
kembang setamannya.
Di dalam kesenian
embeg ini biasanya ada penari tambahan yang menggunakan barongan, yaitu sejenis
topeng yang menggambarkan seekor harimau Jawa atau macan, dengan kain yang memanjang
ke belakang untuk cukup di masuki dua atau tiga orang yang menggambarkan tubuh
harimau tersebut. Barongan mempunyai mulut yang bisa menganga, dan barongan itu
biasanya berwarna gelap. Selain barongan
ada pula yang memakai topeng penthul dan tembem. Penthul adalah topeng
yang mempunyai hidung panjang dan biasanya berwarna putih sendangkan tembem
adalah topeng yang biasanya berwarna hitam atau gelap dan meiliki wajah yang
cukup menakutkan. Penthul ataupun tembem biasanya menari mengelilingi penari
bahkan kadang ke pinggir lapangan tempat pertunjukan untuk menyapa para
penonton. Wah ternyata penthul sama tembem nya ramah yaa hihi J
Tarian embeg ini
biasanya dipertunjukkan di tempat keamaian untuk meramaikan suasana seperti
pada saat hajatan. Selain itu tarian ini juga biasa di pertunjukkan pada saat
memperingati hari-hari besar seperti tujuh belas agustus, tahun baru masehi, tahun
baru jawa dan lain-lain. Tarian ini sejak dulu sudah akrab dengan masyarakat
desa karena keunikannya itu sendiri.
Di era modern ini
kesenian tari embeg tumbuh subur dan lestari dikalangan masyarakat ditandai
dengan hampir disetiap daerah di Banjarnegara terdapat grup kesenian embeg yang
masing-masing diantara mereka menampilkan dengan berbagai gaya modern. Mulai
dari lagu pengiring, penghalusan gerak tari nya, serta kostum yang lebih unik
dan menarik.
Bahan bacaan :
Penulis :
Lisa Anggraeni, Mahasiswa S1 bidang Pendidikan Luar
Sekolah di Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Semarang
Kontak :
delissa110596@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar